Beberapa bulan belakangan ini, lingkungan sekitar rumah saya kedatangan seorang tamu asing. Seorang pria. Rambutnya gondrong, gimbal tak terawat. Kumisnya tebal, mirip Pak Raden. Ia hanya punya sepasang pakaian; sebuah kaos lengan panjang berwarna oranye yang sudah kusam dan sebuah celana panjang longgar hitam yang sama buluknya. Ia biasa berkeliaran di depan rumah saya, tidurnya pun menghampar di trotoar depan rumah.
Kita biasa mengidentifikasi pria ini sebagai "orang gila". Saya sendiri lebih suka menyebut mereka "orang dengan gangguan mental" karena di dunia ini sudah terlalu banyak orang gila; gila kekuasaan, gila harta. Merekalah yang lebih gila dibanding orang gila beneran.
Orang-orang dengan gangguan mental adalah golongan yang terbuang di dalam struktur masyarakat kita. Ditakuti karena dikhawatirkan dapat tiba-tiba menyerang siapa pun yang berlalu di depan mereka. Dihina-hina, dianggap tak lebih berharga dari binatang. Apalagi tak jarang kita menemukan orang gila dalam kondisi tak berpakaian. Kalau melihat orang gila yang berlalu-lalang telanjang bulat, saya jadi berpikir: mungkin bagian paling mengerikan dari hilangnya akal adalah turut hilangnya rasa malu. Tapi di sisi lain, orang dengan gangguan mental mungkin adalah orang yang paling jujur di muka bumi karena mereka tak lagi memiliki keinginan untuk mempedulikan pandangan orang lain. Beda dengan "orang gila" yang sangat mempedulikan penampilan luar namun busuk di dalam.
Di kota saya, Cilegon, orang dengan gangguan mental datang dan pergi silih-berganti. Saya tidak tahu, apakah mereka yang tiba-tiba menghilang itu dibuang lagi ke tempat lain atau malah mungkin sudah mati. Yang jelas, nampaknya kota ini menjadi tempat pembuangan favorit bagi dinas-dinas sosial kota tetangga. Mengoper masalah dianggap sebuah solusi. Jadilah suatu lingkaran setan, karena dinsos kota ini akan membuang mereka ke tempat lain lagi dan seterusnya. Pada akhirnya, penderita gangguan mental ini tetap terlunta-lunta sendirian di jalan dan tetap membuat risih penduduk sekitar.
Saya jadi teringat sebuah kumpulan cerita yang pernah saya baca. Salah satu artikelnya adalah mengenai pusat kesehatan untuk orang dengan gangguan mental di negara tetangga kita Singapura. Fasilitasnya modern dan memiliki puluhan program perawatan untuk berbagai jenis penyakit mental. Di tempat itu, orang dengan gangguan mental tidak hanya dirawat baik-baik dan disembuhkan, namun juga disiapkan untuk terjun kembali ke masyarakat. Bagi yang tidak mampu, ongkosnya ditanggung asuransi dari pemerintah. Selain itu, mereka juga disokong fasilitas penelitian yang telah melahirkan ratusan jurnal ilmiah sejak tahun 2006. Jadilah sebuah solusi yang mutualis.
Sungguh berbeda dengan nasib penderita gangguan mental di Indonesia yang tak terurus. Bahkan keluarga mereka sendiri pun sudah tak menganggap mereka berharga. Kadang saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya jadi mereka? Apakah mereka yang telah hilang akal itu merasakan ini sebagai penderitaan? Apakah hilang akal sama artinya dengan mati rasa? Apakah mereka sudah tidak bisa merasa sedih dan takut? Kalau mereka tahu bagaimana penderita gangguan jiwa di Singapura begitu dilindungi oleh pemerintah, akankah mereka merasa iri?
Atau mungkin karena dianggap telah mati rasa itulah maka pemerintah menganggap tak perlu menaruh belas kasihan pada mereka?
Bagaimanapun, mereka tetaplah manusia meski sudah kurang berakal. Dan pastilah mereka berhak untuk hidup dan diperlakukan dengan layak. Tapi, dengan kondisi mereka yang seperti itu, tentu mereka tak dapat memperjuangkan hak mereka sendiri. Lantas, siapa yang mau membela hak mereka?
Inilah bedanya hidup di negara susah yang banyak penduduknya. Jika nyawa saja kelihatan begitu murah di sini, sangsi rasanya penderita gangguan jiwa ini akan mendapatkan fasilitas yang sama baiknya dengan fasilitas negara tetangga. Ah, nilai seorang manusia bisa berbeda hanya karena terpisahkan batas negara ya...
Dengan tulisan ini, saya tahu kalau saya hanya merupakan bagian dari lingkaran setan. Hanya mengungkapkan masalah, tapi tak kuasa memberi jawaban atas permasalahan. Yang bisa saya lakukan paling hanya sesekali memberi makan pada penderita gangguan mental di depan rumah saya itu. Walau agak menakutkan dengan kumis Pak Raden-nya itu, dia tetap berhak menikmati makanan yang bersih dan layak bukan?