Kamis, 20 Oktober 2011

Kumis Pak Raden

Beberapa bulan belakangan ini, lingkungan sekitar rumah saya kedatangan seorang tamu asing. Seorang pria. Rambutnya gondrong, gimbal tak terawat. Kumisnya tebal, mirip Pak Raden. Ia hanya punya sepasang pakaian; sebuah kaos lengan panjang berwarna oranye yang sudah kusam dan sebuah celana panjang longgar hitam yang sama buluknya. Ia biasa berkeliaran di depan rumah saya, tidurnya pun menghampar di trotoar depan rumah.

Kita biasa mengidentifikasi pria ini sebagai "orang gila". Saya sendiri lebih suka menyebut mereka "orang dengan gangguan mental" karena di dunia ini sudah terlalu banyak orang gila; gila kekuasaan, gila harta. Merekalah yang lebih gila dibanding orang gila beneran.

Orang-orang dengan gangguan mental adalah golongan yang terbuang di dalam struktur masyarakat kita. Ditakuti karena dikhawatirkan dapat tiba-tiba menyerang siapa pun yang berlalu di depan mereka. Dihina-hina, dianggap tak lebih berharga dari binatang. Apalagi tak jarang kita menemukan orang gila dalam kondisi tak berpakaian. Kalau melihat orang gila yang berlalu-lalang telanjang bulat, saya jadi berpikir: mungkin bagian paling mengerikan dari hilangnya akal adalah turut hilangnya rasa malu. Tapi di sisi lain, orang dengan gangguan mental mungkin adalah orang yang paling jujur di muka bumi karena mereka tak lagi memiliki keinginan untuk mempedulikan pandangan orang lain. Beda dengan "orang gila" yang sangat mempedulikan penampilan luar namun busuk di dalam.

Di kota saya, Cilegon, orang dengan gangguan mental datang dan pergi silih-berganti. Saya tidak tahu, apakah mereka yang tiba-tiba menghilang itu dibuang lagi ke tempat lain atau malah mungkin sudah mati. Yang jelas, nampaknya kota ini menjadi tempat pembuangan favorit bagi dinas-dinas sosial kota tetangga. Mengoper masalah dianggap sebuah solusi. Jadilah suatu lingkaran setan, karena dinsos kota ini akan membuang mereka ke tempat lain lagi dan seterusnya. Pada akhirnya, penderita gangguan mental ini tetap terlunta-lunta sendirian di jalan dan tetap membuat risih penduduk sekitar.

Saya jadi teringat sebuah kumpulan cerita yang pernah saya baca. Salah satu artikelnya adalah mengenai pusat kesehatan untuk orang dengan gangguan mental di negara tetangga kita Singapura. Fasilitasnya modern dan memiliki puluhan program perawatan untuk berbagai jenis penyakit mental. Di tempat itu, orang dengan gangguan mental tidak hanya dirawat baik-baik dan disembuhkan, namun juga disiapkan untuk terjun kembali ke masyarakat. Bagi yang tidak mampu, ongkosnya ditanggung asuransi dari pemerintah. Selain itu, mereka juga disokong fasilitas penelitian yang telah melahirkan ratusan jurnal ilmiah sejak tahun 2006. Jadilah sebuah solusi yang mutualis.

Sungguh berbeda dengan nasib penderita gangguan mental di Indonesia yang tak terurus. Bahkan keluarga mereka sendiri pun sudah tak menganggap mereka berharga. Kadang saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya jadi mereka? Apakah mereka yang telah hilang akal itu merasakan ini sebagai penderitaan? Apakah hilang akal sama artinya dengan mati rasa? Apakah mereka sudah tidak bisa merasa sedih dan takut? Kalau mereka tahu bagaimana penderita gangguan jiwa di Singapura begitu dilindungi oleh pemerintah, akankah mereka merasa iri?

Atau mungkin karena dianggap telah mati rasa itulah maka pemerintah menganggap tak perlu menaruh belas kasihan pada mereka?

Bagaimanapun, mereka tetaplah manusia meski sudah kurang berakal. Dan pastilah mereka berhak untuk hidup dan diperlakukan dengan layak. Tapi, dengan kondisi mereka yang seperti itu, tentu mereka tak dapat memperjuangkan hak mereka sendiri. Lantas, siapa yang mau membela hak mereka?

Inilah bedanya hidup di negara susah yang banyak penduduknya. Jika nyawa saja kelihatan begitu murah di sini, sangsi rasanya penderita gangguan jiwa ini akan mendapatkan fasilitas yang sama baiknya dengan fasilitas negara tetangga. Ah, nilai seorang manusia bisa berbeda hanya karena terpisahkan batas negara ya...

Dengan tulisan ini, saya tahu kalau saya hanya merupakan bagian dari lingkaran setan. Hanya mengungkapkan masalah, tapi tak kuasa memberi jawaban atas permasalahan. Yang bisa saya lakukan paling hanya sesekali memberi makan pada penderita gangguan mental di depan rumah saya itu. Walau agak menakutkan dengan kumis Pak Raden-nya itu, dia tetap berhak menikmati makanan yang bersih dan layak bukan?

Jumat, 07 Oktober 2011

an insignificant post about researcher

Technique-driven statistical analysis can be like the blind men
sent by the king to examine an elephant. The man who feels the leg
says an elephant is like a pillar, the one who feels the tails says
it is like a rope, the one who feels the tusk says it is like a
pipe. It is left to the king to integrate the accounts, which he
does masterfully (Peter Bruce from statistics.com)


It's been lingering on my mind a thought about how researcher--or anyone involved in science matter--can be such a romantic person. Instead of being rigid serious-looking people, they are actually poets clad in white laboratorium coat. Rather than pouring their inspiration to parchment, they choose to express their melodious mind by revealing the mystery of our mother earth--or anything that had them curious.

Scientist or researcher is a profession filled with love, passion, curiousity, and it grants you with satisfaction once you acknowledge another secrets of universe--that may ease people's life or make them know how to differentiate between right and wrong.

Well, I'm definitely not a scientist but that's how I perceive their works.

I wonder how biologists could see a poisonous toad as an exotic creature.
And how those philologists scrutinize ancient literature. Is it like the most beautiful painting their eyes have ever seen?
Archeologists with their old ruins. Probably like pirates with their hidden treasure.
Or Peter Bruce with his technique-driven statistical analysis--like King, blind men, and the elephant.

Romantic, aren't they?

Unfortunately, in Indonesia, people will respect you higher if you were doctor or working in eminent company.
Scientists are kinda rare here. I never have friends of same age whose permanent job are related to scientific or social research, except they have plan to be lecturer in future. Or is it always like that? A scientist is equal to lecturer?

And yeah, it's been known that most of our devoted scientists are now living abroad, doing research with greater facilities. People get angry with our super governments.

So what?

Aside from Indonesian Governments' micro-budget for research and development, it is also our environment that wants us to live a daily 8-to-5 (or more) life. Money is revolved around those jobs. Be a good child and have the share of cash. That's simply the rule to happiness (in other words, stable life). So, hey angry people, do you really want your children to be a scientist or researcher? Do you really allow your children to take major in physics, sociology, or geography and let them work in those fields? Well... you know, Banks accept mostly any major :)

In my personal opinion, I think it's really fine for scientists to live abroad and become more useful there. What's so wrong if ones invent something in Indonesia or in other countries as long as it aims for the virtues of whole society? Don't prevent them doing so.


Oh, damn you the creator of borderlines, you make things more difficult (who the hell are you anyway? oh wait, I think it's us)