Pagi ini aku duduk di dekat
jendela, di atas kasurku yang memang berhimpitan langsung dengan celah 1x1
meter itu. Tirai krem lusuh yang sehari-harinya membungkus rapat jendela
kamarku telah tersingkap, memberikan akses untuk kedua mataku memandang ke luar
melalui kaca transparan yang permukaannya berselaput debu tipis.
Cahaya matahari menyambut retina
mataku, merefleksikan pantulan atap-atap rumah—ada yang berupa seng berkarat,
adapula yang terbuat dari genting-genting oranye mulus. Di rumah seberang,
kulihat segambreng jemuran menari-menari pelan tertiup angin. Hey, ini sedang
hujan. Memang hanya rintik semata, namun cukuplah membuat pakaian-pakaian basah
itu apek nantinya. Ah ya sudahlah, bukan urusanku juga kan?
Kumiringkan sedikit kepalaku,
lalu kulihat jalanan yang terlalu lengang untuk ukuran jalan besar di pukul dua
siang. Mungkin semua orang lebih suka
menyembunyikan dirinya di balik selimut mereka yang hangat ketimbang keluar, bertarung
dengan tetes hujan asam dan cipratan genangan air kotor. Atau memang suasana kala
hujan yang sejuk membuat ranjang kita menjadi tempat ternyaman di muka bumi. Ups,
mungkin teori itu hanya berlaku untuk kuli kantor pemalas semacam aku yang
menganggap ranjang adalah kawan terbaik di kala Sabtu.
Lalu terdengar bunyi deru pesawat
terbang agak rendah.. Kadang aku takut jika bunyi itu terdengar terlalu jelas,
terlalu memekakan telinga. Di kepalaku langsung terbayang berita-berita pesawat
jatuh menimpa perumahan penduduk. Paranoid. Kenyataannya, tempat tinggalku ini
memang tak jauh dari bandara satu-satunya di kota. Hampir setiap hari aku bisa
melihat pesawat hilir-mudik di atas langit biru bercorak awan putih.
Aku cukup menyukai kota ini.
Balikpapan. Tidak seperti aku mencintai Bandung, tapi kelebihannya, kota ini
terletak benar-benar tepat di tepi laut. Laut yang memisahkan Kalimantan dengan
Sulawesi. Sebagai orang Indonesia yang khatam dengan bencana-bencana alam,
tentu pertanyaan polos yang pertamakali terlintas adalah, “apa penduduk kota
ini tidak takut dengan ombak tinggi?” .
Pertanyaan yang langsung dikonfirmasi sopir taksi argo yang aku tumpangi ketika
pertamakali aku menjejak tanah Kalimantan
“Laut di sini aman kok, mbak,” katanya dengan
logat Jawa yang kental. Tentu saja aman, jika tidak, apa berani
perusahaan-perusahaan minyak itu membangun kilang-kilang di sini?
Kantorku terletak di Jalan
Minyak. Sebuah kantor tanpa plang, seperti malu-malu menyembul di antara
kantor-kantor perusahaan milik negara. Untuk mencapainya, aku menjadi pelanggan
setia angkot nomor 6. Taksi, demikian mereka menyebut angkot di sini. Untuk
taksi sedan, mereka menamakannya taksi argo. Angkot di Balikpapan terasa lebih
nyaman dari angkot di Pulau Jawa berkat kursi-kursi penumpang yang didesain
menghadap ke depan. Tempat sampah—meski kebanyakan hanya berupa kotak-kotak
plastik lusuh—hampir selalu tergolek di dekat pintu keluar-masuk penumpang. Tak heran kota ini berkali-kali menerima
Adipura.
Menuju kantor, jalanan dengan
kontur berbukit-bukit, pantai, dan pelabuhan menjadi santapan sehari-hari dalam
perjalananku. Sudah menjadi kebiasaanku sekarang untuk memilih duduk di samping
sopir, karena di sanalah aku mendapatkan akses terbaik untuk melihat ke segala
arah. Dengan segala kegetiranku dengan kehidupan profesionalku, entah mengapa
memandang laut biru yang seakan tak berbatasan dengan langit dari atas bukit
menjadi semacam ajang relaksasi. Sedikit menenangkan kegusaran dan keengganan
yang bersarang di dalam hatiku. Sedikit.
Hujan belum juga berhenti. Entah
mengapa, belakangan ini awan hujan tak bosan-bosan menangis. Ah, mellow...
suasana mendung seperti pengiring setia sebuah kesedihan. Sama seperti lantunan
gamelan yang mengiring pengantin menuju pelaminan. Pahit dan manis... semua kejadian dalam hidup ini nampaknya selalu membutuhkan efek dramatis.