Beberapa tahun yang lalu, saya hanyalah seorang anak SMA galau yang terkadang mencurahkan isi hatinya di billboard friendster. Iya, biar semua orang tahu apa yang saya rasakan. Saya jatuh cinta. Saya patah hati. Lalu saya memaki-maki. Ah. Saat jatuh cinta dan saat patah hati, rasanya tak cukup hanya berdialog dengan diri sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, tiap melewati seksi buku psikologi di toko buku, biasanya saya akan tertarik untuk sejenak berhenti. Menengok halaman belakang buku-buku dengan cover warna-warna cerah. Tentang cinta. Tentang wanita dari Venus dan pria dari Mars. Berharap untuk lebih memahami. Wah. Remaja.
Beberapa tahun lalu, saya pernah jatuh hati. Dan rasanya saya ingin menyenangkan orang yang saya sukai. Tapi saya mengharapkan imbalan: perhatian lebih. Ah. Apakah yang namanya ketulusan menyukai tanpa mengharapkan balasan itu benar-benar ada dalam sebuah hubungan?
Namun, pada akhirnya saya gagal. Seperti dua garis yang sejajar. Tampak beriringan tapi tak pernah bertemu. Saya jatuh. Saya skeptis. Seperti kertas yang diremas. Kertas yang tak akan menjadi mulus lagi.
Oh, pada akhirnya saya berhasil bangkit kembali. Pada akhirnya, kertas yang kusut itu saya buang. Saya ganti kertas baru. Putih. Tapi terkadang membosankan. Rasanya tidak ada minat untuk cepat-cepat melepas masa kesendirian. Hey, tahun ini saya dua puluh dua. Saya sudah mendapat gelar akademik. Pembicaraan tentang pernikahan bukan lagi angan-angan masa remaja. Harusnya saya mulai mewarnai kertas putih itu lagi.
Tapi rasanya saya tidak siap. Saya belum cukup baik. Lucu, karena keinginan untuk berpasangan lebih menggebu ketika saya belum berusia kepala dua.
Dan beberapa minggu lalu saya bertemu dengan seseorang di ruang tunggu. Berkacamata. Tinggi. Berkulit agak gelap. Sekali lagi, berkacamata. Ketika saya berbicara dengannya, saya merasa seperti sedang berhadapan dengan sahabat lama. Ia ramah. Senyumnya tulus. Ternyata dulu saya sekampus dengannya, hanya satu ruas jalan memisahkan fakultas kami. Tanpa sadar saya membuka permasalahan saya padanya. Ia mendengarkan. Lalu ia membagi pikirannya dengan saya. Caranya santun. Tidak angkuh. Tidak menghakimi. Tidak tahu mengapa saya jadi begitu terbuka padanya. Bahkan belum ada satu jam berlalu sejak awal pembicaraan. Namun rasanya saya begitu nyaman dengan keberadaannya.
Tidak, tentu saja saya tidak jatuh hati pada orang yang baru saya kenal.
Namun bertemu dengannya membuat saya berdoa diam-diam dalam hati saya:
"Ya Allah, aku ingin hidup dengan pria yang membuat saya nyaman seperti ini. Pria yang dapat membuka hati saya. Yang mau mendengarkan keluh-kesah saya. Yang membuat saya yang keras kepala ini dengan tulus mendengarkan. Seseorang yang ramah dan tak menunjukan keangkuhan, meski dia memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bersikap seperti itu"
.... dan tentu saja baik agamanya. Juga setia. Dua kriteria yang tidak bisa hanya dikenali dalam beberapa jam pertemuan. Permintaan khusus: berkacamata. Ehem.
AMIN.