Well, kalau saya bilang lima penari.. sebenarnya salah banget sih. Penari benerannya cuma ada empat. Yang satu hanya penari jadi-jadian dengan modal nekad hanya belajar nari seminggu plus kesediaan meninggalkan kuliah dua hari dan deadline tugas 170 halaman.
Itulah saya. Penari jadi-jadian.
Kata Devi, teman saya di SBM, saya anak SBM tingkat akhir paling gila karena bisa-bisanya kabur ke Solo sementara yang lain pada GRAWRRR sama tugas kuliah dan tugas a*h*r. Yah, abis kapan lagi coba saya bisa tayuban di depan orang-orang? Siapa tau ada yang mau nyawer kan lumayan tuh buat beli tengkleng dan oleh-oleh.
Dan begitulah, kami ber-enam (saya, Mbak Indri, Mbak Cice, Mbak Dita, Diana, dan Om Wakhid) melewatkan delapan jam di kereta Lodaya menuju Jogja. Sepanjang perjalanan, kami membicarakan tentang perekonomian dunia, perang di Irak, eksploitasi ikan hiu yang merusak ekosistem, kasus perceraian artis… ya kaleee.. Khas tante-tante berkualitas, kami bergosip mengenang masa-masa muda ketika kami belum berkepala dua (kecuali Diana) dan membicarakan tujuan kami di masa depan (Ceileee). Sisanya ngorok deh.
Sampai Jogja, kami segera menjadi TKW-TKW yang ditampung di rumah sang Om senang… Terimakasih banyak untuk orangtua Wakhid yang sudah menyantuni kami dengan sarapan enak dan persinggahan nyaman dan air mandi yang sejuk.
Tapi saya harus jujur… punten ini mah.. sepertinya tadi saya mengileri kasur di kamar Anda khid :’)
NB :
Bohong kok, kita ga tayuban.. kita nari Gambyong Pareanom. Tayub itu tari pesisir yang agak-agak menggoda, sementara gambyong tari keraton (kami berlima memang sangat putri keraton sekali)
To be continued
3 komentar:
agak bohong ya?.....
bagian kalian puteri2 keraton sekali...XD ehehe
akhirnya dapat saweran gak?
yg baik-baik adalah kisan nyata, yg buruk hanya fiktif belaka
@oni liat aja oleh-olehnya banyak kan? haha
Posting Komentar