Sabtu, 07 Juli 2012

Sunday Afternoon


Pagi ini aku duduk di dekat jendela, di atas kasurku yang memang berhimpitan langsung dengan celah 1x1 meter itu. Tirai krem lusuh yang sehari-harinya membungkus rapat jendela kamarku telah tersingkap, memberikan akses untuk kedua mataku memandang ke luar melalui kaca transparan yang permukaannya berselaput debu tipis.  

Cahaya matahari menyambut retina mataku, merefleksikan pantulan atap-atap rumah—ada yang berupa seng berkarat, adapula yang terbuat dari genting-genting oranye mulus. Di rumah seberang, kulihat segambreng jemuran menari-menari pelan tertiup angin. Hey, ini sedang hujan. Memang hanya rintik semata, namun cukuplah membuat pakaian-pakaian basah itu apek nantinya. Ah ya sudahlah, bukan urusanku juga kan?

Kumiringkan sedikit kepalaku, lalu kulihat jalanan yang terlalu lengang untuk ukuran jalan besar di pukul dua siang.  Mungkin semua orang lebih suka menyembunyikan dirinya di balik selimut mereka yang hangat ketimbang keluar, bertarung dengan tetes hujan asam dan cipratan genangan air kotor. Atau memang suasana kala hujan yang sejuk membuat ranjang kita menjadi tempat ternyaman di muka bumi. Ups, mungkin teori itu hanya berlaku untuk kuli kantor pemalas semacam aku yang menganggap ranjang adalah kawan terbaik di kala Sabtu.

Lalu terdengar bunyi deru pesawat terbang agak rendah.. Kadang aku takut jika bunyi itu terdengar terlalu jelas, terlalu memekakan telinga. Di kepalaku langsung terbayang berita-berita pesawat jatuh menimpa perumahan penduduk. Paranoid. Kenyataannya, tempat tinggalku ini memang tak jauh dari bandara satu-satunya di kota. Hampir setiap hari aku bisa melihat pesawat hilir-mudik di atas langit biru bercorak awan putih.

Aku cukup menyukai kota ini. Balikpapan. Tidak seperti aku mencintai Bandung, tapi kelebihannya, kota ini terletak benar-benar tepat di tepi laut. Laut yang memisahkan Kalimantan dengan Sulawesi. Sebagai orang Indonesia yang khatam dengan bencana-bencana alam, tentu pertanyaan polos yang pertamakali terlintas adalah, “apa penduduk kota ini tidak takut dengan ombak tinggi?” . Pertanyaan yang langsung dikonfirmasi sopir taksi argo yang aku tumpangi ketika pertamakali aku menjejak tanah Kalimantan

 “Laut di sini aman kok, mbak,” katanya dengan logat Jawa yang kental. Tentu saja aman, jika tidak, apa berani perusahaan-perusahaan minyak itu membangun kilang-kilang di sini?

Kantorku terletak di Jalan Minyak. Sebuah kantor tanpa plang, seperti malu-malu menyembul di antara kantor-kantor perusahaan milik negara. Untuk mencapainya, aku menjadi pelanggan setia angkot nomor 6. Taksi, demikian mereka menyebut angkot di sini. Untuk taksi sedan, mereka menamakannya taksi argo. Angkot di Balikpapan terasa lebih nyaman dari angkot di Pulau Jawa berkat kursi-kursi penumpang yang didesain menghadap ke depan. Tempat sampah—meski kebanyakan hanya berupa kotak-kotak plastik lusuh—hampir selalu tergolek di dekat pintu keluar-masuk penumpang.  Tak heran kota ini berkali-kali menerima Adipura.

Menuju kantor, jalanan dengan kontur berbukit-bukit, pantai, dan pelabuhan menjadi santapan sehari-hari dalam perjalananku. Sudah menjadi kebiasaanku sekarang untuk memilih duduk di samping sopir, karena di sanalah aku mendapatkan akses terbaik untuk melihat ke segala arah. Dengan segala kegetiranku dengan kehidupan profesionalku, entah mengapa memandang laut biru yang seakan tak berbatasan dengan langit dari atas bukit menjadi semacam ajang relaksasi. Sedikit menenangkan kegusaran dan keengganan yang bersarang di dalam hatiku. Sedikit.

Hujan belum juga berhenti. Entah mengapa, belakangan ini awan hujan tak bosan-bosan menangis. Ah, mellow... suasana mendung seperti pengiring setia sebuah kesedihan. Sama seperti lantunan gamelan yang mengiring pengantin menuju pelaminan. Pahit dan manis... semua kejadian dalam hidup ini nampaknya selalu membutuhkan efek dramatis.

0 komentar: