Minggu, 20 November 2011

Enigma

Begini, jadi setahu gw, kita sebagai manusia itu dilarang untuk menyombongkan diri karena pada dasarnya semua yang kita miliki saat ini hanyalah titipan Allah, baik harta tangible maupun harta intangible. Tidak ada harta yang sudah dipatenkan 100% menjadi milik kita. Dan seperti yang kita ketahui, Allah bisa dengan demikian mudahnya mengambil "harta" titipannya.

Salah satu 'harta' intangible mungkin adalah "kebaikan" yang pernah kita lakukan. Pernah ga sih lo ngerasa pengen banget nge-share suatu hal baik yang udah lo lakukan ke orang lain? Mungkin tujuannya adalah untuk menginspirasi dan mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan yang sama, tapi ngga munafik, kadang bisikan setan bisa begitu menggoda. Bisa saja walau awalnya niat kita untuk menginspirasi orang lain, tapi sedikit-sedikit ada rasa kebanggaan diri yang terselip. Dan bukankah kesombongan, meski seberat biji zarrah (atom) tetap tidak sepantasnya dibiarkan menginfiltrasi hati kita?

Tapi di lain pihak, dunia ini memang membutuhkan orang-orang yang menginspirasi. Jika orang-orang baik itu tidak bersedia berbagi cerita, bagaimana kita mau mencontoh kebaikan yang telah mereka lakukan? Bagaimana gw tahu di dunia ini ternyata ada orang-orang yang bersedia mengabdikan diri di daerah pedalaman kalau mereka tidak mempublikasikannya? Skenario paling bagus mungkin jika ada orang lain yang melihat atau merasakan kebaikan kita lalu menyebarkan kebaikan tersebut dan akhirnya menginspirasi orang lain tanpa kita perlu langsung bicara. Tapi tidak semuanya bisa berjalan dalam kondisi 'ideal' seperti itu kan?

Dan jangankan kebaikan yang dimanfaatkan 'sekedar' untuk kesombongan diri, jaman sekarang "kebaikan" banyak yang hanya kedok semata.

Saat ini, kita bisa melihat banyak sekali publikasi "kebaikan" yang dilakukan secara individual maupun kelompok. Sebagian mungkin memang benar tulus untuk menginspirasi dan mengajak, tapi sebagian lain mungkin punya agenda khusus seperti membentuk"image". Perusahaan-perusahaan besar dengan agenda CSR-nya pun mungkin tidak "setulus" itu ingin membantu masyarakat sekitarnya. Bisa saja kepentingan utama mereka adalah "image" yang baik di mata masyarakat yang tentunya akan bermanfaat untuk peluang bisnis ke depan.

Dulu pun gw rasa gw melakukan hal yang kurang-lebih sama waktu gw berada dalam business project sekolah gw. Sejak awal, hasil penjualan memang ditetapkan 100%-nya untuk disumbangkan. Dan gw memang memanfaatkan nama "charity" itu sebagai bahan promosi agar jualan laku sebanyak-banyaknya. In fact, gw sadar "charity" bukanlah tujuan utama gw. Profit, it is. Memang sih kelihatannya dalam bisnis, strategi ini tampak lumrah dan toh akhirnya 100% keuntungan memang untuk disumbangkan. But to be honest, it doesn't feel so right. Rasanya gw jadi seperti memanfaatkan faktor "kemiskinan" dan "rasa kasihan" untuk mengejar profit. Di mana ketulusan gw?

Contoh lainnya, tadi gw denger informasi mengenai sebuah acara charity yang dipublikasikan salah satu media elektronik nasional. Konon, acara yang di-arrange oleh para sosialita itu cuma palsu saja dengan memanfaatkan nama seorang bocah dengan penyakit berat yang tak memiliki uang untuk berobat. Kenyataannya, bocah tersebut tidak mendapatkan sepeser pun dana hasil charity. Prihatin rasanya. Padahal kalau dijalankan dengan benar dan tulus, event charity bisa menjadi suatu cara cepat mengumpulkan dana bagi mereka yang membutuhkan.

Dan mungkin masih banyak lagi yang memanfaatkan "kebaikan" untuk hal demikian. Kebanggaan diri, profit, kepentingan pribadi, kepentingan politis.

See? "Kebaikan" itu adalah suatu hal yang sangat sensitif sebenarnya.

Semua manusia pasti pada dasarnya ingin melakukan hal-hal yang baik. Ingin membuat orang lain senang, ingin bermanfaat untuk lingkungan sekitar, ingin menuruti perintah-perintah kebaikan yang diatur agamanya. Tapi sekali lagi, hati manusia memang rawan godaan. Dari rasa ingin menyombongkan diri hingga rasa ingin mengambil keuntungan atas nama "kebaikan". Mungkin lebih baik kita bungkam saja daripada akhirnya malah membelokan ketulusan kita. Entahlah. Cuma kita dan Pencipta kita yang tahu isi hati kita yang sesungguhnya sih. Dan sebenernya ga boleh juga berprasangka buruk dan menjudge ketulusan orang lain.

0 komentar: